Dalam pengakuan para pelaku-pelaku sejarah Pemerintahan Indonesia maupun para pemimpin yang sekarang menjadi diraja dalam peta kekuasaan tanah air, episode demi episode sistem pemerintahan kita berjalan dalam spirit demokrasi. Demokrasi yang bagaimana yang ada dalam logika mereka? Benarkah semata untuk menghormati eksistensi warga bangsa yang lain ataukah hanya sebagai alat pembenaran kemapanan sebuah kekuasaan? Lalu, apa indahnya demokrasi hingga sedemikian menggoda untuk dijadikan komoditi eksistensi sebuah negara?Kekuasaan oleh dan untuk rakyat yang menjadi roh dasar demokrasi mengasumsikan adanya kebaikan bagi semua. Tercipta dengan adanya partisipasi aktif warga negara secara holistik. Korupsi, kemiskinan, sparatisme, anarki, pengangguran, terorisme, kriminalitas adalah kondisi sosial yang bernuansa negatif yang mencerderai dan menyakitkan.
Coba kita tengok kebelakang, peristiwa politis di masa lalu, secara pragmatis, hanya melahirkan elite dan massa politik yang jatuh cinta dengan kepentingan sesaat. Hari ini kita berseberangan, minggu depan kita bisa berpelukan. Ideologi bahkan traumatic accident bukan sebuah problematika yang dapat mengurangi gerak laju elite dan massa politik untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Dengan dalih sederhana, kepentingan politik (temporer) dapat terakomodasi. Pembunuhan karakter pribadi maupun lembaga politik berlangsung asyik-asyik aja, sedangkan kepercayaan publik hanya komoditi yang datang dan pergi.
Apakah terlalu jauh vonis dijatuhkan? Faktanya, dalang demo anarkhis sekarang banyak menjadi pegawai Pemerintah Daerah (Pemda), aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah dihilangkan sebuah rezim sekarang nyaleg, buronan internasional dipulangkan dengan biaya milyaran, bahkan figur yang pernah dicemooh seperti anak kecil bisa jadi presiden dua kali periode.
Politisi yang lahir dari kultur politik mesum seperti ini mentransfer norma kultural yang sama ketika menduduki jabatan di lingkar pemerintahan. Akhirnya, mafia anggaran menjadi satu-dua kebusukan yang dipungkiri keadaannya, namun logis menjangkiti politikus mesum tanah air.
Demokrasi akan menemukan kesejatiannya sebagai piranti penghasil apabila lembaganya ditempati personal yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi. Dari waktu ke waktu, pesta demokrasi yang menjadi kanal masuk wakil rakyat dan pemimpin negara ternyata tak lebih dari arena sabung ayam. Sebuah arena yang dengan ilustrasi survey untuk mengukur elektabilitas, aksi perang urat syaraf, adalah bentuk-bentuk kezaliman yang lazim.
Realitas yang begini ini menuntut adanya perwujudan demokrasi dalam konteks pribadi. Ketika sebuah sistem telah korup, adalah sebuah tuntutan yang mendasar apabila tidak berkembang pula pribadi-pribadi yang korup. Ketika dengan penuh kejernihan batin, kita membaca agenda masuknya Pendidikan Karakter dalam pengajaran, maka akan kita temukan betapa lahirnya generasi dengan pribadi berkarakter korup adalah mimpi kita bersama. Tentu saja, dengan bersandar harap semoga agenda pemerintah tersebut bukan semata extravagancy policy.
Demokrasi dalam konteks pribadi terwujud dalam personal demokrasi, dimana idealnya adalah pribadi yang terwujud dalam karakter pemimpin yang tidak hobby curhat, nguber pujian, figur superior yang berhasil tanpa cacat, yang tidak nrimo menjumpai kompetitor, doyan ejek-mengejek, atau bagi-bagi duit memburu ucapan terima kasih. Personal demokrasi terwujud dalam konstruksi karakter rendah hati, anti-superioritas, menghormati kesetaraan meski dijumpai banyak perbedaan. Kebaikan yang diharapkan bukan untuk sebuah golongan, melainkan mencakup keseluruhan. ***