Surabaya (KN) – Para Camat se-Surabaya busa menjadi korban terjerat pidana, menyusul terkuaknya dugaan manipulasi dan konspirasi perjanjian antara PT Telkom Indonesia, Tbk dengan 31 Kecamatan plus 31 RT/RW di Kota Surabaya untuk proyek koneksi internet RT/RW Tahun Anggaran 2011, sebesar Rp 6,9 miliar.Berpotensi Terjeratnya 31 Camat itu diduga karena dijadikan bemper ‘diposisikan’ sebagai Pengguna Anggaran (PA) yang diduga dilakukan oleh mantan Kepala Bina Program Kota Surabaya, Agus Imam Sonhaji, yang kini menjabat Kepala DCKTR.
Informasi yang diperoleh dilapangan, sebenarnya dana yang dikucurkan ke masing-masing Kecamatan se- Kota Surabaya bukan khusus untuk proyek tersebut. Dana itu merupakan dana kegiatan rutin belanja komunikasi.
Sebenarnya, masing-masing Kecamatan dengan biaya belanja rutin tersebut bebas untuk memilih perusahaan telekomunikasi mana saja untuk pembuatan jaringan internet di wilayahnya. Hal itu bisa dimungkinkan karena sudah ada dana taktisnya.
“Tapi kenyataannya, oleh Bina Program saat itu, masing-masing Kecamatan diseragamkan dalam sebuah proyek bersama. Kesan kuat yang muncul adalah ada monopoli yang diberikan kepada PT Telkom. Nah, kenapa kok Telkom tidak diberikan sanksi, padahal mereka jelas salah dalam memenuhi kontrak? Tanyakan itu pada Agus Sonhaji,” terang sumber KN, Jumat (9/3).
Karena itu, dengan terungkapnya sejumlah kejanggalan dan dugaan perbuatan pidana dalam perjanjian yang menurut para praktisi hukum tidak sah itu, posisi para camat selaku Pengguna Anggaran bisa menjadi korban terjerat pidana.
“Para Camat itu punya tanggung jawab sendiri untuk kasus ini. Dari kacamata hukum, jelas ini bisa dipidanakan. Sudah tahu dasar hukumnya lemah, apalagi berani menghapus ‘SANKSI DAN DENDA’. Para camat secara administrasi bertanggung jawab, termasuk walikota Surabaya,” tegas Muara Hariansja SH, praktisi hukum, Jumat (9/3).
Seperti diberitakan, dugaan adanya manipulasi dan konspirasi antar dua lembaga Pemkot Surabaya dan PT Telkom Indonesia Tbk, untuk program internet RT/RW di 31 Kecamatan di Kota Surabaya itu makin menguat.
PT Telkom sendiri sudah menerima tiga kali surat teguran dari Pemkot Surabaya karena gagal memenuhi kontrak memasang jaringan internet plus modem sebanyak 10.888 node (titik sambungan) internet dan hanya sanggup menyelesaikan sekitar 58 persen atau sebanyak 6.009 pemasangan internet di RT/RW se-Kota Surabaya.
Anehnya, hingga kini Pemkot Surabaya tidak memberikan sanksi kepada PT Telkom dan tidak ada pertanggungjawaban jelas.
Salah satu contoh, perjanjian kontrak antara PT Telkom dan Kecamatan Wonokromo (mewakili 31 kecamatan yang ada), di Surat Perjanjian Perubahan-1 (Addendum-1) Nomor: 470.2, tanggal 19 Agustus 2001 tentang Pekerjaan Tambah-Kurang Nomor: 050/470.0/436.11.10/2011 terhadap Kecamatan Wonokromo, Nomor: 050/470/436.11.10/2011, yang ditandatangani Pihak Pertama; KPA selaku Pejabat Pembuat Komitmen (Rimyati, penata Muda Tingkat I – 19580520 198903 2 001) dengan Pihak Kedua; Mulyanta, General Manager Unit Business Service Regional II.
Tengara adanya manipulasi tertera dan dimulai pada pasal 9 Penanguhan Pembayaran yang berbunyi: Dihapus diganti sebagai berikut; Ketentuan pasal 9 dihapus. Selain itu Juga di pasal 12 Cidera Janji; dihapus dan diganti sebagai berikut. Pada poin e, dinyatakan Telah menerima 3X (tiga kali) surat teguran atau peringatan dari Pihak Pertama.
Selanjutnya di Pasal 15 Sanksi dan Denda; dihapus dan diganti sebagai berikut: Ketentuan pasal 15 dihapus.
Menariknya, apa dasar dan landasan hukum yang digunakan oleh Pemkot Surabaya untuk menghapus Sanksi dan Denda kepada PT Telkom? Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di lampiran 5 disebutkan, syarat sahnya kontrak harus memuat sanksi dan denda.
Faktanya, Pemkot Surabaya diduga sengaja menghapus Pasal 15 Sanksi dan Denda pasca PT Telkom wanprestasi (tak memenuhi target) pelaksanaan pemasangan jaringan internet plus modem tersebut. Pada kontrak pertama tanggal 19 Juli 2011 sampai 19 Agustus 2011, Telkom hanya bisa menyelesaian sekitar 13 persen dari total jumlah yang semestinya.
Klaim soal tidak adanya pelanggaran karena perjanjian kerja berdasar unit price juga dimentahkan oleh dokumen milik PT Telkom sendiri.
Dokumen “Bukti Kelengkapan Administrasi Pembayaran (untuk PPKm dan Bendahara – rapat pra rekon 14 Oktober 2011)” yang diperoleh KN menjelaskan di bagian Keterangan, ada penjelasan soal Termin I, II, III, IV, V tertulis harga sambungan internet per hari: Rp 3.315.00 dan harga sambungan internet per bulan: Rp. 109.935.00.
“Untuk membuktikan ini melanggar hukum atau tidak, maka aparat penegak hukum, apakah itu polisi, kejaksaan atau KPK harus mengusutnya. Kalau perlu mari kita uji di Mahkamah Konstitusi (MK) soal alasan Pemkot Surabaya kalau menghapus addendum “Sanksi dan Denda’ itu tidak melanggar hukum,” desak Advokat dan Praktisi Hukum, Muara Hariansja SH. (red)
Foto : Ilustrasi seperangkat internet