Juru bicara Banggar DPRD Jatim Ro’aitu Nafif dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Jatim, Kamis (8/5/2025).
Surabaya (mediakorannusantara.com) – Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Jawa Timur menyampaikan sejumlah catatan kritis dalam menyikapi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran (TA) 2024.
Meskipun laporan keuangan daerah kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Banggar menilai masih ada persoalan serius yang perlu didalami, mulai dari efektivitas anggaran hingga meningkatnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA).
Dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Jawa Timur, Kamis (8/5/2025), Juru Bicara Banggar, Ro’aitu Nafif Laha, menyampaikan bahwa opini WTP ke-14 dan ke-10 secara berturut-turut atas laporan keuangan Pemprov Jatim patut diapresiasi.
Namun pihaknya mengingatkan bahwa capaian itu belum sepenuhnya mencerminkan keberhasilan dalam pemanfaatan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Hal ini menjadi indikator bahwa secara umum pengelolaan keuangan daerah Provinsi Jawa Timur berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meskipun dalam beberapa hal diperlukan perbaikan untuk meningkatkan dampak penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah,” ujar Ro’aitu Nafif Laha.
Banggar menilai, opini WTP tidak boleh menutup mata atas berbagai ketidakefisienan dan ketidaktepatan alokasi anggaran. Ia menegaskan, Banggar tetap mencermati secara saksama laporan keuangan yang diaudit BPK dan menyatakan Raperda tersebut layak dibahas lebih lanjut di tingkat komisi dan fraksi.
Namun sebelum pembahasan dilanjutkan, Banggar menyampaikan empat poin utama yang perlu menjadi fokus pendalaman. Pertama, terkait terjadinya surplus anggaran dan meningkatnya SiLPA pada 2024.
Ro’aitu menekankan bahwa capaian ini harus dikritisi secara serius karena menunjukkan belum optimalnya penyerapan anggaran yang seharusnya diarahkan untuk memenuhi target pembangunan.
“Hal ini terkait bahwa dari 11 Indikator Kinerja Utama (IKU), terdapat 2 IKU yang tidak mencapai target, yaitu Indeks Theil dan Indeks Gini, yang sebenarnya terkait erat dengan Tema RKPD Tahun 2024,” sebutnya.
“Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan anggaran Tahun 2024 masih belum optimal diarahkan untuk mencapai target kinerja sebagaimana telah ditetapkan dalam RPJMD Tahun 2019-2024 dan RKPD Tahun 2024,” kata sambungnya.
Kedua, Banggar juga menyoroti rendahnya realisasi belanja modal pada tahun 2024. Mereka mendesak Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) memberikan penjelasan yang sistematis terkait rendahnya realisasi ini.
“Badan Anggaran berharap penjelasan lebih rinci dan sistematis dari TAPD untuk melihat apakah persoalan penyebabnya ada di kualitas perencanaan anggaran, kapasitas aparatur pelaksanaan, koordinasi dan sinkronisasi antar OPD, atau pagu anggaran Belanja Modal yang hanya sekedar mengejar besaran mandatory spending pemerintah pusat,” jelas dia.
Ketiga, Banggar menganggap tingginya SiLPA sebagai ironi, mengingat Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia.
Untuk itu, Banggar menekankan bahwa tidak seharusnya ada alasan penghematan dalam belanja pelayanan publik yang seharusnya menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
“Badan Anggaran berharap untuk belanja pelayanan publik tidak ada alasan ‘penghematan’ dari OPD ketika mendapati belanja pelayanan publiknya jauh di bawah target,” ujar Ro’aitu.
Maka dari itu, Banggar menyatakan akan mencermati lebih dalam penyebab besarnya SiLPA dan potensi penghematan belanja yang tidak semestinya.
Keempat, Banggar mengingatkan soal hasil pemeriksaan kepatuhan atas pelaksanaan pekerjaan konstruksi tahun anggaran 2024 oleh BPK Jawa Timur. Mereka mendesak agar hasil temuan seperti kekurangan volume pekerjaan, ketidaksesuaian spesifikasi teknis, hingga keterlambatan pelaksanaan harus dijelaskan secara terbuka.
“Badan Anggaran berharap agar dapat dijelaskan mengenai kemungkinan ditemukannya permasalahan. Pertama adalah kekurangan volume dan/atau ketidaksesuaian spesifikasi teknis atas paket pekerjaan konstruksi. Dan kedua, adanya pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang tidak tepat waktu,” tandasnya. (KN01)