Surabaya (mediakorannusantara.com) –
Perkembangan electric vehicle (EV) yang kian meningkat tajam di Indonesia dan target pemerintah menekan polusi udara mendorong dilakukannya pengembangan teknologi EV di masyarakat. Berdasar hal tersebut, salah satu Guru Besar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Heri Suryoatmojo ST MT PhD mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan dan tantangan Artificial Intelligence (AI) dalam sistem kendaraan listrik modern.
Menurut Heri, kecerdasan buatan berperan penting dalam perkembangan teknologi kendaraan listrik yang kian meningkat tajam di Indonesia. Saat ini, penelitian marak berfokus pada kendaraan listrik baik dari segi kontrol, kecepatan, safety, dan pengujian. Permasalahan kompleks tersebut seharusnya diatasi dengan menggunakan AI. “Untuk itu, diperlukan penelitian guna mengoptimalkan kendaraan listrik dengan menggabungkan teknologi yang sudah ada seperti pengoptimalan AI,” terangnya.
Saat ini, lanjut Heri, penggalakan green campaign di dunia yang mengedepankan kendaraan listrik mendorong kita untuk mengedepankan pengembangan kendaraan listrik modern. Teknologi saat ini mengadopsi driving control. Dengan AI, kendaraan akan melaju autonomous tanpa sentuhan. Saat berada di jalanan sepi, mode code control dapat diaktifkan sesuai keinginan kita. “Driver akan lebih nyaman karena tidak terlalu menyita fokus akibat bantuan AI. Dari segi safety juga dapat mengidentifikasi jarak dan badan jalan,” paparnya.
Lelaki kelahiran 1980 ini menjelaskan, Motor Brushless Direct Current (BLDC) mempunyai peran penting dalam pengembangan kendaraan listrik. Motor BLDC sering digunakan sebagai penggerak utama kendaraan listrik karena memiliki efisiensi tinggi, torsi tinggi, rentang kecepatan lebar, dan perawatan rendah.
Namun, ungkap Heri, motor BLDC harus dikontrol untuk mendapatkan nilai yang diinginkan, seperti kecepatan, torsi, dan posisi. “Torsi menjadi parameter penting untuk menggerakkan kendaraan,” ujar Heri.
Selain itu, kecepatan motor BLDC juga perlu dikontrol untuk mendapatkan akselerasi yang diinginkan atau meminimalkan slip pada kontrol traksi. Dalam hal ini, penggunaan kontrol traksi pada mobil menjadi responsive, tetapi mampu mengoptimalkan penggunaan energi seminimum mungkin. Pengendalian kecepatan motor BLDC dikembangkan dengan metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) yakni sistem fuzzy yang mempunyai mekanisme pembelajaran.
Dalam kebaruan keilmuan, alumnus doktoral Kumamoto University, Jepang tersebut memaparkan bahwa perancangan sistem kendali kecepatan motor BLDC menggunakan software MATLAB Simulink. Sistem yang dirancang terdiri dari beberapa blok di antaranya Inverter dan Supply DC, Motor BLDC, Decoder, Generator PWM, dan Switching Logic. “Kecepatan aktual motor BLDC akan dibandingkan dengan kecepatan referensi untuk mendapatkan error dan perubahan nilai error,” jelas profesor ke-182 ITS ini.
Lebih lanjut, menurut Heri, perubahan error diperoleh dengan melakukan operasi diferensial pada sinyal error. Dalam hal ini, error dan perubahan error akan menjadi nilai masukan dari pengontrol ANFIS dan Fuzzy-PID. Sinyal PWM akan dihubungkan oleh AND dengan sinyal gating yang dihasilkan oleh blok logika switching. Kecepatan motor BLDC tergantung pada besarnya tegangan yang diberikan pada motor.
Struktur pengontrol ANFIS sendiri mempunyai masukan yaitu error dan perubahan error, serta terdiri dari tiga sub-kontroler yang akan menentukan duty cycle sinyal PWM. Respon dari Fuzzy-PID kemudian dimodifikasi untuk melatih pengontrol ANFIS agar mendapatkan respon sistem yang lebih baik.
Langkah awal dalam merancang pengontrol ANFIS adalah mendapatkan pasangan data masukan. “Algoritma pembelajaran hybrid ANFIS digunakan untuk melatih parameter dan terdiri dari kombinasi antara algoritma propagasi balik (back-propagation) dan Recursive Least Square Estimation (RLSE),” beber Guru Besar dari Departemen Teknik Elektro ITS ini.
Menilik kebermanfaatan ilmu, penelitian Heri ini diharapkan menjadi acuan pembelajaran bagi mahasiswa dan mampu membawa branding ITS pada teknologi kendaraan listrik. Simulasi penelitian Heri merancang sistem kendali agar arus transien yang timbul akibat perubahan kecepatan tidak melebihi 500 Ampere sebagai batas arus yang diberikan pada motor BLDC. Hal ini disebabkan karena tegangan antar belitan fasa stator pada periode pengasutan dipotong, sehingga arus pengasutan menjadi kecil.
Heri yang menamatkan pendidikan S3 atau program doctor di usia 29 tahun ini memang menggemari dunia kendaraan. “Terlebih, hobi saya sedari kecil bergelut dengan vehicle membuat saya senang belajar teknologi, khususnya autonomous vehicle,” tutur profesor kelahiran Magetan, 3 Juni 1980 itu.
Terakhir, Heri berharap pengukuhannya sebagai profesor dapat mendorong ITS terus berkarya baik di kancah nasional hingga internasional. “Semoga bisa juga membawa tim binaan saya di Bayucaraka (tim robot terbang ITS, red) untuk berkiprah di level internasional dan mengembangkan teknologi lebih lanjut,” tandasnya. (jack)