Jakarta, mediakorannusantara.com – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja merupakan sesuatu yang konstitusional berdasarkan teori hukum tata negara. Perppu ini juga tidak menujukkan kudeta secara konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Profesor Satya Arinanto, dalam diskusi daring bertajuk “Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja,” Sabtu (7/1/2023)
Terjadinya perdebatan di masyarakat, katanya, disebabkan regulasi tersebut belum atau tidak dibaca utuh dan sepenuhnya.
Satya menegaskan, Perppu Cipta Kerja tersebut konstitusional merujuk Undang-Undang 1945, teori hukum tata negara (HTN) darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.
“Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli, dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002),” kata Satya.
Dikatakan Satya, Pasal 22 UUD 1945 misalnya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah pun harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan yang berikut. Kemudian, kata dia, jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Satya menegaskan, parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan Perppu yakni.
Dia mengatakan menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009 yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
“Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, pada 30 Desember 2022 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).
Substansi UU Cipta Kerja yang diubah dalam Perppu Cipta Kerja, khususnya terkait substansi ketenagakerjaan.
1. Ketentuan alih daya atau outsourcing (pasal 64)
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur mengenai pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini dimaknai bahwa pelaksanaan alih daya dapat dilakukan atau terbuka untuk semua jenis pekerjaan dalam suatu proses produksi.
Sedangkan Perppu Cipta Kerja mengatur alih daya dibatasi hanya dapat dilakukan untuk sebagian pelaksanaan pekerjaan. Hal ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh pemerintah dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
2. Ketentuan Upah Minimum (pasal 88C, 88D, dan pasal 88F)
Penegasan syarat penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK). UMKM dapat ditetapkan bila hasil penghitungannya lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
Sementara itu, bagi kabupaten/kota yang belum mempunyai UMKM dan akan menetapkan UMK, harus memenuhi syarat tertentu yang diatur dalam PP.
Perubahan formula perhitungan upah minimum. Formula perhitungan upah minimum mempertimbangkan tiga variabel yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Formula ini lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Kewenangan pemerintah menetapkan formula penghitungan upah minimum berbeda, dalam hal terjadi keadaan tertentu. Ketentuan ini merupakan ketentuan baru yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, guna mengantisipasi keadaan tertentu yang berdampak pada kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha.
Misalnya dalam hal terjadi bencana yang ditetapkan oleh presiden, kondisi luar biasa perekonomian global dan/nasional seperti bencana non-alam pandemi.
3. Perubahan frasa cacat menjadi disabilitas
Pada pasal 67, perubahan frasa penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas, di mana pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas. ( wan/ar)